Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi segala sesuatu kunci untuk membukanya, Allah menjadikan kunci pembuka shalat adalah bersuci sebagaiman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Kunci shalat adalah bersuci’, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kunci pembuka haji adalah ihram, kunci kebajikan adalah kejujuran, kunci surga adalah tauhid, kunci ilmu adalah bagusnya bertanya dan mendengarkan, kunci kemenangan adalah kesabaran, kunci ditambahnya nikmat adalah syukur, kunci kewalian adalah mahabbah dan dzikir, kunci keberuntungan adalah takwa, kunci taufik adalah harap dan cemas kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kunci dikabulkan adalah doa, kunci keinginan terhadap akhirat adalah zuhud di dunia, kunci keimanan adalah tafakkur pada hal yang diperintahkan Allah, keselamatan bagi-Nya, serta keikhlasan terhadap-Nya di dalam kecintaan, kebencian, melakukan, dan meninggalkan, kunci hidupnya hati adalah tadabbur al-Qur’an, beribadah di waktu sahur, dan meninggalkan dosa-dosa, kunci didapatkannya rahmat adalah ihsan di dalam peribadatan terhadap Khaliq dan berupaya memberi manfaat kepada para hamba-Nya, kunci rezeki adalah usaha bersama istighfar dan takwa, kunci kemuliaan adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, kunci persiapan untuk akhirat adalah pendeknya angan-angan, kunci semua kebaikan adalah keinginan terhadap Allah dan kampung akhirat, kunci semua kejelekan adalah cinta dunia dan panjangnya angan-angan.
“Ini adalah bab yang agung dari bab-bab ilmu yang paling bermanfaat, yaitu mengetahui pintu-pintu kebaikan dan kejelekan, tidaklah diberi taufik untuk mengetahuinya dan memperhatikannya kecuali seorang yang memiliki bagian dan taufik yang agung, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kunci bagi setiap kebaikan dan kejelekan, kunci dan pintu untuk masuk kepadanya sebagaimana Allah jadikan kesyirikan, kesombongan, berpaling dari apa yang disampaikan Allah kepada Rasul-Nya, dan lalai dari dzikir terhadap-Nya dan melaksanakan hak-Nya sebagai kunci ke neraka, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan khamr sebagai kunci segala dosa. Dia jadikan nyanyian sebagai kunci perzinaan, Dia jadikan melepaskan pandangan pada gambar-gambar sebagai kunci kegelisahan dan kegandrungan, Dia jadikan kemalasan dan kesantaian sebagai kunci kerugian dan luputnya segala sesuatu, Dia jadikan kemaksiatan-kemaksiatan sebagai kunci kekufuran, Dia jadikan dusta sebagai kunci kenifakan (kemunafikan), Dia jadikan kekikiran dan ketamakan sebagai kunci kebakhilan, memutus silaturahim, serta mengambil harta dengan cara yang tidak halal dan Dia jadikan berpaling dari apa yang dibawa Rasul sebagai kunci segala kebid’ahan dan kesesatan.
“Perkara-perkara ini tidaklah membenarkannya kecuali setiap orang yang memiliki ilmu yang shahih dan akal yang bisa mengetahui dengannya apa yang ada dalam dirinya dan apa yang berwujud dari kebaikan dan kejelekan. Maka sepantasnya seorang hamba memperhatikan dengan sebaik-baiknya ilmu terhadap kunci-kunci ini dan kunci-kunci yang dijadikan untuknya.”
Rabu, 06 Oktober 2010
Ciri-Ciri Penduduk Surga
Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan surga bagi hamba-hamba yang beriman dan menciptakan neraka bagi orang-orang kafir. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi dan rasul akhir zaman, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.
Berikut ini adalah sebagian ciri-ciri dan karakter orang-orang yang dijanjikan oleh Allah mendapatkan surga beserta segala kenikmatan yang ada di dalamnya, yang sama sekali belum pernah terlihat oleh mata, belum terdengar oleh telinga, dan belum terlintas dalam benak manusia. Semoga Allah menjadikan kita termasuk di antara penduduk surga-Nya.
1. Beriman dan beramal salih
Allah ta’ala berfirman,
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih bahwasanya mereka akan mendapatkan balasan berupa surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai…” (Qs. al-Baqarah: 25)
Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan,
وأنَّ الإيمانَ قَولٌ باللِّسانِ، وإخلاَصٌ بالقلب، وعَمَلٌ بالجوارِح، يَزيد بزيادَة الأعمالِ، ويَنقُصُ بنَقْصِها، فيكون فيها النَّقصُ وبها الزِّيادَة، ولا يَكْمُلُ قَولُ الإيمانِ إلاَّ بالعمل، ولا قَولٌ وعَمَلٌ إلاَّ بنِيَّة، ولا قولٌ وعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إلاَّ بمُوَافَقَة السُّنَّة.
“Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.” (Qathfu al-Jani ad-Dani karya Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, hal. 47)
al-Baghawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu bahwa yang dimaksud amal salih adalah mengikhlaskan amal. Maksudnya adalah bersih dari riya’. Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan, “Amal salih adalah yang di dalamnya terdapat empat unsur: ilmu, niat yang benar, sabar, dan ikhlas.” (Ma’alim at-Tanzil [1/73] as-Syamilah)
2. Bertakwa
Allah ta’ala berfirman,
لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
“Bagi orang-orang yang bertakwa terdapat balasan di sisi Rabb mereka berupa surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, begitu pula mereka akan mendapatkan istri-istri yang suci serta keridhaan dari Allah. Allah Maha melihat hamba-hamba-Nya.” (Qs. Ali Imran: 15)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menguraikan jati diri orang bertakwa. Mereka itu adalah orang-orang yang bertakwa kepada Rabb mereka. Mereka menjaga diri dari siksa-Nya dengan cara melakukan apa saja yang diperintahkan Allah kepada mereka dalam rangka menaati-Nya dan karena mengharapkan balasan/pahala dari-Nya. Selain itu, mereka meninggalkan apa saja yang dilarang oleh-Nya juga demi menaati-Nya serta karena khawatir akan tertimpa hukuman-Nya (Majalis Syahri Ramadhan, hal. 119 cet Dar al-’Aqidah 1423 H).
Termasuk dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai berita yang datang dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan syari’at, bukan dengan tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah itu dituntut di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka hendaknya seorang insan selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan tersembunyi/sendirian atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan orang (lihat Fath al-Qawiy al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah, hal. 68 cet. Dar Ibnu ‘Affan 1424 H)
an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, salah satu faktor pendorong untuk bisa menumbuhkan ketakwaan kepada Allah adalah dengan senantiasa menghadirkan keyakinan bahwasanya Allah selalu mengawasi gerak-gerik hamba dalam segala keadaannya (Syarh al-Arba’in, yang dicetak dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 142 cet Markaz Fajr dan Ulin Nuha lil Intaj al-I’lami)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah memaparkan bahwa keberuntungan manusia itu sangat bergantung pada ketakwaannya. Oleh sebab itu Allah memerintahkan (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu beruntung. Dan jagalah dirimu dari api neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Qs. Ali Imron: 130-131). Cara menjaga diri dari api neraka adalah dengan meninggalkan segala sesuatu yang menyebabkan terjerumus ke dalamnya, baik yang berupa kekafiran maupun kemaksiatan dengan berbagai macam tingkatannya. Karena sesungguhnya segala bentuk kemaksiatan -terutama yang tergolong dosa besar- akan menyeret kepada kekafiran, bahkan ia termasuk sifat-sifat kekafiran yang Allah telah menjanjikan akan menempatkan pelakunya di dalam neraka. Oleh sebab itu, meninggalkan kemaksiatan akan dapat menyelamatkan dari neraka dan melindunginya dari kemurkaan Allah al-Jabbar. Sebaliknya, berbagai perbuatan baik dan ketaatan akan menimbulkan keridhaan ar-Rahman, memasukkan ke dalam surga dan tercurahnya rahmat bagi mereka (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/164] cet Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengimbuhkan, bahwa tercakup dalam ketakwaan -bahkan merupakan derajat ketakwaan yang tertinggi- adalah dengan melakukan berbagai perkara yang disunnahkan (mustahab) dan meninggalkan berbagai perkara yang makruh, tentu saja apabila yang wajib telah ditunaikan dan haram ditinggalkan (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan riwayat dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Mu’adz ditanya tentang orang-orang yang bertakwa. Maka beliau menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang menjaga diri dari kemusyrikan, peribadahan kepada berhala, dan mengikhlaskan ibadah mereka hanya untuk Allah.” al-Hasan mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah kepada mereka dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan kepada mereka.” Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa ketakwaan bukanlah menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah namun melalaikan yang wajib. Beliau rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruni amal kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan.” Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena mengharapkan pahala dari Allah, serta kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut hukuman Allah.” (dinukil dari Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Pokok dan akar ketakwaan itu tertancap di dalam hati. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pada hakikatnya ketakwaan yang sebenarnya itu adalah ketakwaan dari dalam hati, bukan semata-mata ketakwaan anggota tubuh. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu dikarenakan barang siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu semua muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (Qs. al-Hajj: 32). Allah juga berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah -hewan kurban itu-, akan tetapi yang akan sampai kepada Allah adalah ketakwaan dari kalian.” (Qs. al-Hajj: 37). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketakwaan itu sumbernya di sini.” Seraya beliau mengisyaratkan kepada dadanya (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).” (al-Fawa’id, hal. 136 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H)
Namun, perlu diingat bahwa hal itu bukan berarti kita boleh meremehkan amal-amal lahir, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Petunjuk yang paling sempurna adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, beliau adalah orang yang telah menunaikan kedua kewajiban itu -lahir maupun batin- dengan sebaik-baiknya. Meskipun beliau adalah orang yang memiliki kesempurnaan dan tekad serta keadaan yang begitu dekat dengan pertolongan Allah, namun beliau tetap saja menjadi orang yang senantiasa mengerjakan sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. Bahkan beliau juga rajin berpuasa, sampai-sampai dikatakan oleh orang bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berjihad di jalan Allah. Beliau pun berinteraksi dengan para sahabatnya dan tidak menutup diri dari mereka. Beliau sama sekali tidak pernah meninggalkan amalan sunnah dan wirid-wirid di berbagai kesempatan yang seandainya orang-orang yang perkasa di antara manusia ini berupaya untuk melakukannya niscaya mereka tidak akan sanggup melakukan seperti yang beliau lakukan. Allah ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk menunaikan syari’at-syari’at Islam dengan perilaku lahiriyah mereka, sebagaimana Allah juga memerintahkan mereka untuk mewujudkan hakikat-hakikat keimanan dengan batin mereka. Salah satu dari keduanya tidak akan diterima, kecuali apabila disertai dengan ‘teman’ dan pasangannya…” (al-Fawa’id, hal. 137 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H)
3. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيم
“Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (Qs. an-Nisa’: 13)
Allah ta’ala berfirman tentang mereka,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman itu ketika diseru untuk patuh kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul itu memutuskan perkara di antara mereka maka jawaban mereka hanyalah, ‘Kami dengar dan kami taati’. Hanya mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. an-Nur: 51)
Allah ta’ala menyatakan,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barang siapa taat kepada Rasul itu maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (Qs. An-Nisaa’ : 80)
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, ketika menyeru kalian untuk sesuatu yang akan menghidupkan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Allah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan sesungguhnya kalian akan dikumpulkan untuk bertemu dengan-Nya.” (Qs. al-Anfal: 24)
Ketika menjelaskan kandungan pelajaran dari ayat ini, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanyalah bisa digapai dengan memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang tidak muncul pada dirinya istijabah/sikap memenuhi dan mematuhi seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya. Meskipun sebenarnya dia masih memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya antara dia dengan hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu kehidupan yang hakiki dan baik adalah kehidupan pada diri orang yang memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan mereka masih hidup. Oleh karena itulah maka orang yang paling sempurna kehidupannya adalah yang paling sempurna di antara mereka dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan terkandung unsur kehidupan sejati. Barang siapa yang luput darinya sebagian darinya maka itu artinya dia telah kehilangan sebagian unsur kehidupan, dan di dalam dirinya mungkin masih terdapat kehidupan sekadar dengan besarnya istijabahnya terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Fawa’id, hal. 85-86 cet. Dar al-’Aqidah)
4. Cinta dan Benci karena Allah
Allah ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Tidak akan kamu jumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih sayang kepada orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya meskipun mereka itu adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, maupun sanak keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang ditetapkan Allah di dalam hati mereka dan Allah kuatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah, ketahuilah sesungguhnya hanya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. al-Mujadalah: 22)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ ».
“Barang siapa yang mencintai karena Allah. Membenci karena Allah. Memberi karena Allah. Dan tidak memberi juga karena Allah. Maka sungguh dia telah menyempurnakan imannya.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [10/181] as-Syamilah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tua dan anak-anaknya.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ
“Ciri keimanan yaitu mencintai kaum Anshar, sedangkan ciri kemunafikan yaitu membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari)
5. Berinfak di kala senang maupun susah
Allah ta’ala berfirman,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Bersegeralah menuju ampunan Rabb kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya di kala senang maupun di kala susah, orang-orang yang menahan amarah, yang suka memaafkan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri maka mereka pun segera mengingat Allah lalu meminta ampunan bagi dosa-dosa mereka, dan siapakah yang mampu mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka juga tidak terus menerus melakukan dosanya sementara mereka mengetahuinya.” (Qs. Ali Imron: 133-135)
Membelanjakan harta di jalan Allah merupakan ciri orang-orang yang bertakwa. Allah ta’ala berfirman,
الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Alif lam mim. Ini adalah Kitab yang tidak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang beriman kepada perkara gaib, mendirikan sholat, dan membelanjakan sebagian harta yang Kami berikan kepada mereka.” (Qs. al-Baqarah: 1-3)
Syaikh as-Sa’di memaparkan, infak yang dimaksud dalam ayat di atas mencakup berbagai infak yang hukumnya wajib seperti zakat, nafkah untuk istri dan kerabat, budak, dan lain sebagainya. Demikian juga ia meliputi infak yang hukumnya sunnah melalui berbagai jalan kebaikan. Di dalam ayat di atas Allah menggunakan kata min yang menunjukkan makna sebagian, demi menegaskan bahwa yang dituntut oleh Allah hanyalah sebagian kecil dari harta mereka, tidak akan menyulitkan dan memberatkan bagi mereka. Bahkan dengan infak itu mereka sendiri akan bisa memetik manfaat, demikian pula saudara-saudara mereka yang lain. Di dalam ayat tersebut Allah juga mengingatkan bahwa harta yang mereka miliki merupakan rezki yang dikaruniakan oleh Allah, bukan hasil dari kekuatan mereka semata. Oleh sebab itu Allah memerintahkan mereka untuk mensyukurinya dengan cara mengeluarkan sebagian kenikmatan yang diberikan Allah kepada mereka dan untuk berbagi rasa dengan saudara-saudara mereka yang lain (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman [1/30] cet. Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
6. Memiliki hati yang selamat
Allah ta’ala berfirman,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Pada hari itu -hari kiamat- tidak bermanfaat lagi harta dan keturunan, melainkan bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Qs. as-Syu’ara: 88-89)
Abu Utsman an-Naisaburi rahimahullah mengatakan tentang hakikat hati yang selamat, “Yaitu hati yang terbebas dari bid’ah dan tenteram dengan Sunnah.” (disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya [6/48] cet Maktabah Taufiqiyah)
Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa hakikat hati yang selamat itu adalah, “Hati yang bersih dari syirik dan keragu-raguan. Adapun dosa, maka tidak ada seorang pun yang bisa terbebas darinya. Ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir.” (Ma’alim at-Tanzil [6/119], lihat juga Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari [19/366] as-Syamilah)
Imam al-Alusi rahimahullah juga menyebutkan bahwa terdapat riwayat dari para ulama salaf seperti Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Ibnu Sirin, dan lain-lain yang menafsirkan bahwa yang dimaksud hati yang selamat adalah, “Hati yang selamat dari penyakit kekafiran dan kemunafikan.” (Ruh al-Ma’ani [14/260] as-Syamilah)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pengertian paling lengkap tentang makna hati yang selamat itu adalah hati yang terselamatkan dari segala syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan larangan-Nya. Hati yang bersih dari segala macam syubhat yang bertentangan dengan berita dari-Nya. Oleh sebab itu, hati semacam ini akan terbebas dari penghambaan kepada selain-Nya. Dan ia akan terbebas dari tekanan untuk berhukum kepada selain Rasul-Nya…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hati yang selamat artinya yang bersih dari: kesyirikan, keragu-raguan, mencintai keburukan, dan terus menerus dalam bid’ah dan dosa-dosa. Konsekuensi bersihnya hati itu dari apa-apa yang disebutkan tadi adalah ia memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengannya. Berupa keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kebaikan dan memandang indah kebaikan itu di dalam hati, dan juga kehendak dan kecintaannya pun mengikuti kecintaan Allah, hawa nafsunya tunduk mengikuti apa yang datang dari Allah.” (Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 592-593 cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan karakter si pemilik hati yang selamat itu, “… apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya karena Allah. Apabila dia memberi maka juga karena Allah. Apabila dia mencegah/tidak memberi maka itupun karena Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)
Demikianlah sekelumit yang bisa kami tuangkan dalam lembaran ini. Semoga bermanfaat bagi yang menulis, membaca maupun yang menyebarkannya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Berikut ini adalah sebagian ciri-ciri dan karakter orang-orang yang dijanjikan oleh Allah mendapatkan surga beserta segala kenikmatan yang ada di dalamnya, yang sama sekali belum pernah terlihat oleh mata, belum terdengar oleh telinga, dan belum terlintas dalam benak manusia. Semoga Allah menjadikan kita termasuk di antara penduduk surga-Nya.
1. Beriman dan beramal salih
Allah ta’ala berfirman,
وَبَشِّرِ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih bahwasanya mereka akan mendapatkan balasan berupa surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai…” (Qs. al-Baqarah: 25)
Ibnu Abi Zaid al-Qairawani rahimahullah mengatakan,
وأنَّ الإيمانَ قَولٌ باللِّسانِ، وإخلاَصٌ بالقلب، وعَمَلٌ بالجوارِح، يَزيد بزيادَة الأعمالِ، ويَنقُصُ بنَقْصِها، فيكون فيها النَّقصُ وبها الزِّيادَة، ولا يَكْمُلُ قَولُ الإيمانِ إلاَّ بالعمل، ولا قَولٌ وعَمَلٌ إلاَّ بنِيَّة، ولا قولٌ وعَمَلٌ وَنِيَّةٌ إلاَّ بمُوَافَقَة السُّنَّة.
“Iman adalah ucapan dengan lisan, keikhlasan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Ia bertambah dengan bertambahnya amalan dan berkurang dengan berkurangnya amalan. Sehingga amal-amal bisa mengalami pengurangan dan ia juga merupakan penyebab pertambahan -iman-. Tidak sempurna ucapan iman apabila tidak disertai dengan amal. Ucapan dan amal juga tidak sempurna apabila tidak dilandasi oleh niat -yang benar-. Sementara ucapan, amal, dan niat pun tidak sempurna kecuali apabila sesuai dengan as-Sunnah/tuntunan.” (Qathfu al-Jani ad-Dani karya Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, hal. 47)
al-Baghawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu bahwa yang dimaksud amal salih adalah mengikhlaskan amal. Maksudnya adalah bersih dari riya’. Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu mengatakan, “Amal salih adalah yang di dalamnya terdapat empat unsur: ilmu, niat yang benar, sabar, dan ikhlas.” (Ma’alim at-Tanzil [1/73] as-Syamilah)
2. Bertakwa
Allah ta’ala berfirman,
لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
“Bagi orang-orang yang bertakwa terdapat balasan di sisi Rabb mereka berupa surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, begitu pula mereka akan mendapatkan istri-istri yang suci serta keridhaan dari Allah. Allah Maha melihat hamba-hamba-Nya.” (Qs. Ali Imran: 15)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menguraikan jati diri orang bertakwa. Mereka itu adalah orang-orang yang bertakwa kepada Rabb mereka. Mereka menjaga diri dari siksa-Nya dengan cara melakukan apa saja yang diperintahkan Allah kepada mereka dalam rangka menaati-Nya dan karena mengharapkan balasan/pahala dari-Nya. Selain itu, mereka meninggalkan apa saja yang dilarang oleh-Nya juga demi menaati-Nya serta karena khawatir akan tertimpa hukuman-Nya (Majalis Syahri Ramadhan, hal. 119 cet Dar al-’Aqidah 1423 H).
Termasuk dalam cakupan takwa, yaitu dengan membenarkan berbagai berita yang datang dari Allah dan beribadah kepada Allah sesuai dengan tuntunan syari’at, bukan dengan tata cara yang diada-adakan (baca: bid’ah). Ketakwaan kepada Allah itu dituntut di setiap kondisi, di mana saja dan kapan saja. Maka hendaknya seorang insan selalu bertakwa kepada Allah, baik ketika dalam keadaan tersembunyi/sendirian atau ketika berada di tengah keramaian/di hadapan orang (lihat Fath al-Qawiy al-Matin karya Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah, hal. 68 cet. Dar Ibnu ‘Affan 1424 H)
an-Nawawi rahimahullah menjelaskan, salah satu faktor pendorong untuk bisa menumbuhkan ketakwaan kepada Allah adalah dengan senantiasa menghadirkan keyakinan bahwasanya Allah selalu mengawasi gerak-gerik hamba dalam segala keadaannya (Syarh al-Arba’in, yang dicetak dalam ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 142 cet Markaz Fajr dan Ulin Nuha lil Intaj al-I’lami)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah memaparkan bahwa keberuntungan manusia itu sangat bergantung pada ketakwaannya. Oleh sebab itu Allah memerintahkan (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu beruntung. Dan jagalah dirimu dari api neraka yang disediakan bagi orang-orang kafir.” (Qs. Ali Imron: 130-131). Cara menjaga diri dari api neraka adalah dengan meninggalkan segala sesuatu yang menyebabkan terjerumus ke dalamnya, baik yang berupa kekafiran maupun kemaksiatan dengan berbagai macam tingkatannya. Karena sesungguhnya segala bentuk kemaksiatan -terutama yang tergolong dosa besar- akan menyeret kepada kekafiran, bahkan ia termasuk sifat-sifat kekafiran yang Allah telah menjanjikan akan menempatkan pelakunya di dalam neraka. Oleh sebab itu, meninggalkan kemaksiatan akan dapat menyelamatkan dari neraka dan melindunginya dari kemurkaan Allah al-Jabbar. Sebaliknya, berbagai perbuatan baik dan ketaatan akan menimbulkan keridhaan ar-Rahman, memasukkan ke dalam surga dan tercurahnya rahmat bagi mereka (Taisir al-Karim ar-Rahman [1/164] cet Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengimbuhkan, bahwa tercakup dalam ketakwaan -bahkan merupakan derajat ketakwaan yang tertinggi- adalah dengan melakukan berbagai perkara yang disunnahkan (mustahab) dan meninggalkan berbagai perkara yang makruh, tentu saja apabila yang wajib telah ditunaikan dan haram ditinggalkan (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan riwayat dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Mu’adz ditanya tentang orang-orang yang bertakwa. Maka beliau menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang menjaga diri dari kemusyrikan, peribadahan kepada berhala, dan mengikhlaskan ibadah mereka hanya untuk Allah.” al-Hasan mengatakan, “Orang-orang yang bertakwa adalah orang-orang yang menjauhi perkara-perkara yang diharamkan Allah kepada mereka dan menunaikan kewajiban yang diperintahkan kepada mereka.” Umar bin Abdul Aziz rahimahullah juga menegaskan bahwa ketakwaan bukanlah menyibukkan diri dengan perkara yang sunnah namun melalaikan yang wajib. Beliau rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruni amal kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan.” Thalq bin Habib rahimahullah berkata, “Takwa adalah kamu melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena mengharapkan pahala dari Allah, serta kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena takut hukuman Allah.” (dinukil dari Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 211 cet Dar al-Hadits 1418 H)
Pokok dan akar ketakwaan itu tertancap di dalam hati. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pada hakikatnya ketakwaan yang sebenarnya itu adalah ketakwaan dari dalam hati, bukan semata-mata ketakwaan anggota tubuh. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yang demikian itu dikarenakan barang siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu semua muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (Qs. al-Hajj: 32). Allah juga berfirman (yang artinya), “Tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah -hewan kurban itu-, akan tetapi yang akan sampai kepada Allah adalah ketakwaan dari kalian.” (Qs. al-Hajj: 37). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketakwaan itu sumbernya di sini.” Seraya beliau mengisyaratkan kepada dadanya (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).” (al-Fawa’id, hal. 136 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H)
Namun, perlu diingat bahwa hal itu bukan berarti kita boleh meremehkan amal-amal lahir, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Petunjuk yang paling sempurna adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara itu, beliau adalah orang yang telah menunaikan kedua kewajiban itu -lahir maupun batin- dengan sebaik-baiknya. Meskipun beliau adalah orang yang memiliki kesempurnaan dan tekad serta keadaan yang begitu dekat dengan pertolongan Allah, namun beliau tetap saja menjadi orang yang senantiasa mengerjakan sholat malam sampai kedua kakinya bengkak. Bahkan beliau juga rajin berpuasa, sampai-sampai dikatakan oleh orang bahwa beliau tidak berbuka. Beliau pun berjihad di jalan Allah. Beliau pun berinteraksi dengan para sahabatnya dan tidak menutup diri dari mereka. Beliau sama sekali tidak pernah meninggalkan amalan sunnah dan wirid-wirid di berbagai kesempatan yang seandainya orang-orang yang perkasa di antara manusia ini berupaya untuk melakukannya niscaya mereka tidak akan sanggup melakukan seperti yang beliau lakukan. Allah ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk menunaikan syari’at-syari’at Islam dengan perilaku lahiriyah mereka, sebagaimana Allah juga memerintahkan mereka untuk mewujudkan hakikat-hakikat keimanan dengan batin mereka. Salah satu dari keduanya tidak akan diterima, kecuali apabila disertai dengan ‘teman’ dan pasangannya…” (al-Fawa’id, hal. 137 cet. Dar al-’Aqidah 1425 H)
3. Taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيم
“Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang sangat besar.” (Qs. an-Nisa’: 13)
Allah ta’ala berfirman tentang mereka,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Sesungguhnya ucapan orang-orang yang beriman itu ketika diseru untuk patuh kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul itu memutuskan perkara di antara mereka maka jawaban mereka hanyalah, ‘Kami dengar dan kami taati’. Hanya mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. an-Nur: 51)
Allah ta’ala menyatakan,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barang siapa taat kepada Rasul itu maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (Qs. An-Nisaa’ : 80)
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, ketika menyeru kalian untuk sesuatu yang akan menghidupkan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Allah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan sesungguhnya kalian akan dikumpulkan untuk bertemu dengan-Nya.” (Qs. al-Anfal: 24)
Ketika menjelaskan kandungan pelajaran dari ayat ini, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanyalah bisa digapai dengan memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang tidak muncul pada dirinya istijabah/sikap memenuhi dan mematuhi seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya. Meskipun sebenarnya dia masih memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya antara dia dengan hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu kehidupan yang hakiki dan baik adalah kehidupan pada diri orang yang memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan mereka masih hidup. Oleh karena itulah maka orang yang paling sempurna kehidupannya adalah yang paling sempurna di antara mereka dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan terkandung unsur kehidupan sejati. Barang siapa yang luput darinya sebagian darinya maka itu artinya dia telah kehilangan sebagian unsur kehidupan, dan di dalam dirinya mungkin masih terdapat kehidupan sekadar dengan besarnya istijabahnya terhadap Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (al-Fawa’id, hal. 85-86 cet. Dar al-’Aqidah)
4. Cinta dan Benci karena Allah
Allah ta’ala berfirman,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Tidak akan kamu jumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkasih sayang kepada orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya meskipun mereka itu adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, maupun sanak keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang ditetapkan Allah di dalam hati mereka dan Allah kuatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya, Allah akan memasukkan mereka ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah, ketahuilah sesungguhnya hanya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (Qs. al-Mujadalah: 22)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ ».
“Barang siapa yang mencintai karena Allah. Membenci karena Allah. Memberi karena Allah. Dan tidak memberi juga karena Allah. Maka sungguh dia telah menyempurnakan imannya.” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud [10/181] as-Syamilah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah beriman salah seorang dari kalian sampai aku lebih dicintainya daripada orang tua dan anak-anaknya.” (HR. Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
آيَةُ الْإِيمَانِ حُبُّ الْأَنْصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الْأَنْصَارِ
“Ciri keimanan yaitu mencintai kaum Anshar, sedangkan ciri kemunafikan yaitu membenci kaum Anshar.” (HR. Bukhari)
5. Berinfak di kala senang maupun susah
Allah ta’ala berfirman,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Bersegeralah menuju ampunan Rabb kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menginfakkan hartanya di kala senang maupun di kala susah, orang-orang yang menahan amarah, yang suka memaafkan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan orang-orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menzalimi diri mereka sendiri maka mereka pun segera mengingat Allah lalu meminta ampunan bagi dosa-dosa mereka, dan siapakah yang mampu mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka juga tidak terus menerus melakukan dosanya sementara mereka mengetahuinya.” (Qs. Ali Imron: 133-135)
Membelanjakan harta di jalan Allah merupakan ciri orang-orang yang bertakwa. Allah ta’ala berfirman,
الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Alif lam mim. Ini adalah Kitab yang tidak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang beriman kepada perkara gaib, mendirikan sholat, dan membelanjakan sebagian harta yang Kami berikan kepada mereka.” (Qs. al-Baqarah: 1-3)
Syaikh as-Sa’di memaparkan, infak yang dimaksud dalam ayat di atas mencakup berbagai infak yang hukumnya wajib seperti zakat, nafkah untuk istri dan kerabat, budak, dan lain sebagainya. Demikian juga ia meliputi infak yang hukumnya sunnah melalui berbagai jalan kebaikan. Di dalam ayat di atas Allah menggunakan kata min yang menunjukkan makna sebagian, demi menegaskan bahwa yang dituntut oleh Allah hanyalah sebagian kecil dari harta mereka, tidak akan menyulitkan dan memberatkan bagi mereka. Bahkan dengan infak itu mereka sendiri akan bisa memetik manfaat, demikian pula saudara-saudara mereka yang lain. Di dalam ayat tersebut Allah juga mengingatkan bahwa harta yang mereka miliki merupakan rezki yang dikaruniakan oleh Allah, bukan hasil dari kekuatan mereka semata. Oleh sebab itu Allah memerintahkan mereka untuk mensyukurinya dengan cara mengeluarkan sebagian kenikmatan yang diberikan Allah kepada mereka dan untuk berbagi rasa dengan saudara-saudara mereka yang lain (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman [1/30] cet. Jum’iyah Ihya’ at-Turots al-Islami)
6. Memiliki hati yang selamat
Allah ta’ala berfirman,
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Pada hari itu -hari kiamat- tidak bermanfaat lagi harta dan keturunan, melainkan bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (Qs. as-Syu’ara: 88-89)
Abu Utsman an-Naisaburi rahimahullah mengatakan tentang hakikat hati yang selamat, “Yaitu hati yang terbebas dari bid’ah dan tenteram dengan Sunnah.” (disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya [6/48] cet Maktabah Taufiqiyah)
Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan bahwa hakikat hati yang selamat itu adalah, “Hati yang bersih dari syirik dan keragu-raguan. Adapun dosa, maka tidak ada seorang pun yang bisa terbebas darinya. Ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir.” (Ma’alim at-Tanzil [6/119], lihat juga Tafsir Ibnu Jarir at-Thabari [19/366] as-Syamilah)
Imam al-Alusi rahimahullah juga menyebutkan bahwa terdapat riwayat dari para ulama salaf seperti Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Ibnu Sirin, dan lain-lain yang menafsirkan bahwa yang dimaksud hati yang selamat adalah, “Hati yang selamat dari penyakit kekafiran dan kemunafikan.” (Ruh al-Ma’ani [14/260] as-Syamilah)
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Pengertian paling lengkap tentang makna hati yang selamat itu adalah hati yang terselamatkan dari segala syahwat yang menyelisihi perintah Allah dan larangan-Nya. Hati yang bersih dari segala macam syubhat yang bertentangan dengan berita dari-Nya. Oleh sebab itu, hati semacam ini akan terbebas dari penghambaan kepada selain-Nya. Dan ia akan terbebas dari tekanan untuk berhukum kepada selain Rasul-Nya…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hati yang selamat artinya yang bersih dari: kesyirikan, keragu-raguan, mencintai keburukan, dan terus menerus dalam bid’ah dan dosa-dosa. Konsekuensi bersihnya hati itu dari apa-apa yang disebutkan tadi adalah ia memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengannya. Berupa keikhlasan, ilmu, keyakinan, cinta kebaikan dan memandang indah kebaikan itu di dalam hati, dan juga kehendak dan kecintaannya pun mengikuti kecintaan Allah, hawa nafsunya tunduk mengikuti apa yang datang dari Allah.” (Taisir al-Karim ar-Rahman hal. 592-593 cet. Mu’assasah ar-Risalah)
Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan karakter si pemilik hati yang selamat itu, “… apabila dia mencintai maka cintanya karena Allah. Apabila dia membenci maka bencinya karena Allah. Apabila dia memberi maka juga karena Allah. Apabila dia mencegah/tidak memberi maka itupun karena Allah…” (Ighatsat al-Lahfan, hal. 15 cet. Dar Thaibah)
Demikianlah sekelumit yang bisa kami tuangkan dalam lembaran ini. Semoga bermanfaat bagi yang menulis, membaca maupun yang menyebarkannya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Keutamaan Shalat Berjamaah
I. Pendahuluan
Shalat merupakan salah satu ibadah yang paling penting di dalam Islam. Karena perintah shalat langsung diberikan oleh Allah kepada Rasulullah langsung tanpa perantara Malaikat jibril tidak sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Shalat juga merupakan ibadah yang menentukan pada saat manusia di padang mahsyar. Jika shalatnya baik, maka seluruh amalnya baik dan jika tidak, maka seluruh amalnya tidak baik. Namun, amat sangat disayangkan, banyak umat islam pada saat sekarang ini melalaikan perintah yang satu ini. Mereka sering menunda atau bahkan meninggalkan shalat. Apalagi jika disuruh untuk shalat berjamaah, banyak alasan yang akan kita terima dan salah satu alasan yang sering keluar adalah bahwa hukum shalat berjamaah itu adalah sunnah. Padahal seluruh ulama menetapkan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya wajib bagi laki-laki kecuali ada udzur (halangan). Di bawah ini ada 40 manfaat shalat berjamaah dimana diharapkan setelah membaca artikel ini kita bisa melakukan shalat berjamaah secara terus menerus dan mendapat 40 manfaat yang akan kita bahas.
II. Manfaat Shalat Berjamaah
1.Mematuhi Perintah Allah
Sesungguhnya dengan shalat berjamaah berarti kita telah mematuhi (salah satu) perintah Allah yang dibebankan kepada segenap hamba-Nya yang beriman. Allah berfirman:
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku." (Al-Baqarah:43)
Dalam kitab Tafsirnya, Ibnu Katsir berkata,"Yakni hendaklah kalian bersama orang-orang beriman dalam berbagai perbuatan mereka yang terbaik, dan yang paling utama dan sempurna dari semua itu adalah shalat. Dan banyak para ulama yang menjadikan ayat ini sebagai dalail bagi diwajibkannya shalat berjamaah."
2. Sebagai Saksi Keimanan
Alah bersaksi bahwa memakmurkan masjid-masjid adalah dengan iman dan bahwasanya mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah pada kebenaran dan sungguh mereka adalah orang-orang yang beruntung.
Allah berfirman:
"Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat perunjuk." (At-Taubah:18)
3. Mendapatkan Tazkiyah (Pernyataan Kesucian) dan Anugerah Besar dari Allah
Shalat berjamaah adalah di antara sebab-sebab dzikrullah (mengingat Allah) dan bertasbih (memuji) kepada-Nya di masjid-masjid. Allah memuji mereka yang melakukan hal itu sekaligus menjuluki mereka sebagai rijaal (orang-orang gentleman). Mereka adalah orang-orang yang tidak lalai karena bisnis dan perdagangan mereka dari mengingat Allah , mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Allah Berfirman:
"Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut pada suatu hari yang di (hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas." (An-Nuur:36-38)
4. Mengagungkan dan Menekankan Apa yang diagungkan dan Ditekankan oleh Rasulullah
Shalat berjamaah memiliki arti yang besar dan urgen sekali. Perintah melakukannya tidak saja dalam situasi biasa. Tetapi Allah memerintahkan bahkan menekankan shalat berjamaah dalam situasi khauf (menakutkan). Allah berfirman:
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalau kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata." (An-Nisa:102)
Demikian pula Nabi menekankan shalat berjamaah. Beliau memerintahkan shalat berjamaah dan tidak memberikan keringanan kepada orang yang meninggalkannya.
5. Mematuhi Perintah Rasul
Dengan shalat berjamaah berarti mematuhi perintah Rasulullah dan mengikuti sunnah beliau baik qauliyah (ucapan) maupun fi'liyah (perbuatan). Rasul bersabda:
"Jika mereka bertiga maka hendaklah salah seorang mereka menjadi imam. Dan yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling pandai membaca (al-Quran)." (Muslim)
6. Selamat Karena Mengikuti Rasul
Mengikuti Rasul dalam ibadah yang agung ini, yakni shalat berjamaah -juga dalam ibadah-ibadah lain- adalah diantara sebab-sebab turunnya hidayah (petunjuk), kecintaan Allah, ampunan-Nya atas dosa-dosa kita serta diantara sebab-sebab kesempatan kita dari Neraka dan masuk Surga. Allah berfirman:
"Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk." (an-Nuur:54)
7. Shalat Berjamaah termasuk Sasaran Islam Yang Agung
Berjamah dalam maknanya yang umum termasuk sasaran Islam yang agung. Karena itum banyak ibadah yang disyariatkan secara berjamaah agar maksud agung daripadanya (persatuan) benar-benar menghujam dalam jiwa segenap umat Islam seperti haji, shalat, dan sebagainya. Nabi Bersabda:
"Berjamaah (bersatu) adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab." (Tirmidzi)
8. MengagungKAn dan Menampakkan Syi'ar Allah
Dengan shalat berjamaah berarti menampakkan dan mengagungkan salah satu diantara syi'ar Islam, bahkan termsuk syi'ar yang paling agung yakni shalat. Allah berfirman:
"Demikian (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati." (Al0Hajj:32)
9. Termasuk Sunnah-Sunnah Petunjuk
Sesungguhnya shalat berjamaah adalah termasuk sunnah-sunnah pertunjuk yang diajarkan Rasulullah kepada kita. Ibnu Mas'ud berkata:
"Sesungguhnya Rasulullah telah mengajarkan kepada kita jalan-jalan petunjuk. Dan diantara jalan-jalan petunju itu adalah shalat di masjid yang dikumandangkan adzan di dalamnya."
10. Lebih Utama dari Shalat Sendirian
Shalat berjamaah lebih utama 25 derajat (dalam riwayat lain 27 derajat) daripada shalat sendirian. Rasulullah bersabda:
"Shalat berjamaah itu leih utama 25 derajat daripada shalat sendirian." (Bukhari)
11. Lebih suci di sisi Allah Daripada shalat sendirian
Sesungguhnya shalat berjamaah itu, meskipun dengan jumlah sedikit, ia lebih suci di sisi Allah daripada sendirian meskipun jumlah orangnya lebih bayak. Rasululah bersabda:
"Shalat dua orang laki-laki dengan salah seorang dari mereka menjadi imam adalah lebih suci di sisi Allah daripada empat orang secara sendiri-sendiri." (Lihat Shahihul Jami nomer 3836)
12. Menjaga diri dari setan
Shalat berjamaah -dengan izin Allah- menjaga seorang muslim dari musuh bebuyutannya, yang tidak pernah diam, juga menghindarkannya dari penguasaan setan. Rasulullah bersabda:
"Tidaklah tiga orang berada di suatu desa atau dusun dan mereka tidak mendirikan shalat (berjamaah) kecuali mereka telah dikuasai oleh setan. Karena itu, hendaklah kalian senantiasa berjamaah. Sungguh serigala itu hanya makan (hewan piaraan) yang jauh (dari gerombolan kawan-kawannya)" (Lihat shahihul JamiNomor 5701)
13. Jauh dari menyerupai orang-orang munafik
Melakukan shalat berjamaah secara rutin bisa menjauhkan seorang muslim dari menyerupai orang-orang munafik yang oleh Allah diancam akan menempati neraka yang paling bawah. Rasulullah bersabda:
"Tak ada shalat yang lebih berat menurut orang munafik melebihi (beratnya) shalat subuh dan isya." (Muttafaqun 'alaih)
14. Di antara sebab diampuninya dosa-dosa
Sesungguhnya shalat berjamaah adalah salah satu diantara sebab diampuninya dosa-dosa bahkan dosa-dosa yang telah lalu. Rasulullah bersabda:
"Siapa yang berwudhu untuk shalat dan ia menyempurnakan wudhunya, lalu berjalan (untuk menunaikan) shalat wajib, dan ia shalat bersama manusia atau bersama jamaah atau di dalam masjid, niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya." (Muslim)
15. Diantara sebab Ta'ajub Allah
Diantara sifat Allah adalah ta'ajub, dan diantara sebab ta'ajubnya Allah adalah shalat berjamaah. Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya Allah ta'ajub pada shalat (yang dilakukan) secara berjamaah." (Lihat shahihul Jami nomor 1820)
Para Ulama sepakat terhadap penetapan sifat ta'ajub tanpa tahrif (penyelewengan), ta'thil (peniadaan), takyif (Menanyakan bagaimana) dan tamtsil (penyerupaan). Tapi secara hakiki yang sesuai dengan keagungan Allah
16.Berpahala besar karena berjalan untuk menunaikannya
Shalat berjamaah menjadikan seorang muslim keluar menuju masjid, dan biasnya ia berjalan serta banyak melangkah. Dengan demikian ia mendapatkan pahala besar dan kebaikan yang banyak dan tak seorang pun mengetaui sebatas apa pahalanya kecuali Allah. Rasulullah bersabda:
"Siapa yang berwudhu di rumahnya lalu berjalan menuju rumah Allah untuk menuanikan salah satu kewajiban (dari) Allah maka salah satu dari kedua langkahnya menghapus dosa-dosa dan yang lain meninggikan derajat." (Muslim)
17. Berkumpulnya para malaikat pada waktu shalat shubuh dan ashar serta permohinan ampun mereka bagi yang hadir
Rasululah bersabda:
"Para malaikat malam dan malaikat siang bergantian menyertai kalian dan mereka berkumpul pada saat (diselenggarakan jamaah) shalat shibuh dan shalat ashar. Lalu malaikat yang (sudah) menyertai kalian naik (ke langit), dan mereka ditanya oleh Tuhan mereka, padahal Dia lebih mengethaui draipada mereka, bagaimana keadaan hamba-hamba-Ku yang kalian tinggalkan? Mereka menjawab," Kami meninggalkan mereka sedang dalam keadaan shalat dan kami mendatangi mereka sedang keadaan shalat (juga)." (Muttafaqun 'alaih)
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah:
"Mereka menjawab,"Kami datang sedang mereka dalam keadaan shalat dan kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat (pula), maka ampunilah mereka pada hari pembalasan."
18. Menyamai shalat separuh malam atau sepanjang malam
Rasululah bersabda:
"Siapa yang shalat Isya secara berjamaah, maka seakan-akan ia shalat separuh malam. Dan siapa yang shalat shubuh secara berjamaah, maak seakan-akan ia shalat sepanjang malam." (Muslim)
19. Berada Dalam jaminan Allah
Rasulullah bersabda:
"Siapa yang shalat shubuh secara berjamaah maka ia berada dalam jaminan Allah." (Lihat Shahihut Targhib wat Tarhib nomor 418)
20. Berada dalam naungan Allah pada Hari Kiamat
Rasulullah bersabda:
"Tujuh golongan manusia yang Allah akan menaunginya pada hari kiamat saat tiada lagi nanungan kecuali naungan-Nya ... laki-laki yang hatinya senantiasa bergantung kepada masjid-masjid." (Lihat Al-lu'liu wal Marjan nomor 610)
21. Bebas dari Neraka dan sifat Nifak
Rsulullah bersabda:
"Siapa yang melakukan shalat berjamaah selama 40 hari, dan ia mendapatkan takbir pertama, niscaya dituliskan untuknya dua pembebasan; bebas dari neraka dan bebas dari nifak." (Lihat Shahihul jami nomor 6365)
22. Mendapatkan Shalawat dari Allah dan Para Malaikat
Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang shalat (berjamaah yang terdapat) pada shaf-shaf terdepan. Dalam riwayat lain (yang tedapat) pada shaf pertama. Dlama riwayat lain pula (disebutkan), (yang terdapat) pada shaf-shal awal." (Lihat Al-Lu'lu wal Marjan nomor 1842)
23. Mendapatkan Rumah di Surga
Rasulullah bersabda:
"Siapa yang mengisi tempat kosong (dalam shaf), niscaya dengannya Allah mengangkat (untuknya) satu derajat dan membangunkan baginya satu rumah di surga." (Lihat Shahihul Jami Nomor 505)
24. Mendapatkan Pahala Berjamaah Meskipun telah selesai dikerjakan
Rasulullah bersabda:
"Siapa yang berwudhu kemudian membaikkan wudhunya lalu pergi (ke masjid) dan ia mendapati orang-orag telah selesai shalat, niscaya Allah (tetap) memberinya pahala orang yang tetap shalat dan menghadirinya secara berjamaah , pahalanya tidak mengurangi sedikitpun dari pahala mereka." (Lihat shahihul Jami Nomor 6163)
25. Sempurnanya Shalat
Shalat berjamaah adalah salah satu sebab bagi kesempurnaan dan kelengkapan shalat, juga pada ghalibnya menyelamatkan dan mengamankan diri dari lupa. Selanjutnya, ia berdampak pada semakin tingginya derajat (potensi) diterimanya shalat tersebut dengan izin Allah.
Rasulullah bersabda:
"Imam adalah yang bertanggung jawab, mu'adzin adalah yang dipercaya. Ya Allah, berilah petunjuk kepada para imam dan ampunilah para mu'adzin." (Lihat Shahihul jami Nomor 2787)
26. Amal Yang Paling Utama
Rasulullah bersabda:
"Amalan apakah yang paling utama?" Beliau menjawab,"Shalat pada waktunya." (Abu daud dan Tirmidzi)
27. Selamat dari Neraka Wail
Shalat berjamaah bisa menjaga seorang muslim dari meremehkan, melalaikan, dan melupakan shalat serta menjaganya dari melakukan shalat di akhir waktu. Bahkan, kebanyakan mereka yang meninggalkan shalat pada awalnya adalah mereka yang meninggalkan shalat berjamaah. Karena itu, Allah mengancam orang-orang yang melalaikan shalat dan mengakhirkannya dari waktunya:
"Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya." (Al-Ma'un:4-5)
28. Selamat Dari Kelalaian
Rasulullah Bersabda:
"Sungguh beberapa kaum benar-benar akan menghentikan (kebiasaannya) meninggalkan shalat berjamaah atau Allah benar-benar akan mengunci mati hati mereka lalu mereka benar-benar termasuk orang yang lalai." (Ibnu Majah)
29. Do'anya Tidak Ditolak
Kita mengetahui bahwa ada saat-saat tertentu dimana doa seorang muslim dikabulkan oleh Allah. Salah satu diantaranya yaitu ketika antara adzan dan iqamat. Dan waktu tersebut sangat memungkinkan terjadi ketika seseorang menunggu waktu untuk shalat berjamaah.
Rasulullah bersabda:
"Doa antara adzan dan iqamat adalah tidak ditolak." (Lihat Shahihul Jami Nomor 3408)
30. Persaudaraan, Kasih Sayang, dan Persamaan
Nabi menganjurkan agar kita meluruskan shaf dan tidak berselisih (bengkok dan berpencar), seraya menjelaskan bahwa yang demikian itu adalah sebab bagi bersatunya segenap hati. Rasulullah bersabda:
"Dan janganlah kalian berselisih (bengkok dalam shaf) karena hal itu akan mengakibatkan berselisihnya hati." (Lihat Shahihul jami Nomor 961)
31. Menjaga Shalat-shalat Sunnah Rawatib dan Dzikir
Termasuk manfaat shalat berjamaah yaitu pada umumnya ia membantu seorang muslim selalu menjaga hal-hal yang sunnah, shalat-shalat rawatib dan dzikir bersamaan dengan shalat wajib yang lima waktu. Rasulullah bersabda:
"Siapa yang shalat sehari semalam 12 rakaat niscaya dibangunkan satu rumah untuknya di surga: 4 rakaat sebelum Dzuhur, dan 2 rakaat setelahnya, 2 rakaat sesudah maghrib, 2 rakaat setelah 'Isya, dan 2 rakaat sebelum Shubuh." (Lihat Shahihul Jami Nomor 6362)
32. Memahami Hukum-Hukum Shalat
Di antara manfaat shalat berjamaah yaitu ia merupakan kesempatan besar untuk mempelajari sifat-sifat shalat dan mengetahui hukum-hukumnya. Dan itu bisa dilakukan saat masing-masing orang menyaksikan lainnya sedang shalat. Atau dengan mendengarkan ceramah-ceramah yang disampaikan di masjid-masjid, juga dengan membaca tulisan-tulisan yang ditempelkan di dalam masjid. Shalat berjamaah juga merupakan kesempatan untuk mengetahui bacaan yang benar serta belajar hukum-hukum tajwid dengan mendengarkan bacaan imam
33. Membiasakan Disiplin dan Menguasai Diri
Dalam shalat berjamaah terdapat pengajaran tentang disiplin dan penguasaan diri, yaitu pada saat mengikuti gerakan imam. Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya imam itu diadakan agar ia diikuti karena itu janganlah kalian berselisih atasnya." (Lihat Shahihul Jami Nomor 2360)
34. Menampakkan Kekuatan Umat Islam dan membuat Kesal Orang-Orang Kafir dan Munafik
Shalat berjamaah menampakkan kekuatan umat Islam sepanjang siang dan malam, juga menampakkan jumlah mereka yang besar. Di samping, ia akan membuat kesal musuh-musuh mereka, dari golongan orang-orang kafir dan munafik.
35. Memperbaiki Penampilan dan jati diri
Di antara manfaat shalat berjamaah yaitu ia pada ghalibnya membuat seorang muslim memperhatikan diri dan penampilannya, kebersihan pakaian, dan parfumnya. Yang demikian itu karena ia berkumpul dengan saudara-saudaranya sepanjang siang dan malam hari. Allah berfirman:
"Hai Anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan." (Al-A'raf:31)
36. Saling Mengenal dan Memperkenalkan Diri
Shalat berjamaah merupakan kesempatan besar untuk aling mengenal dan beramah tamah antar sesama muslim saat pertemuan mereka dalam shalat lima waktu, juga ketika masuk dan keluar masjid.
37. Berlomba-lomba dalam ketaatan kepada Allah
Termasuk manfaat shalat adalah ia menjadi motivator untuk berlomba-lomba dalam ketaatan kepada Allah dengan penuh kejujuran dan keikhlasan yakni dengan menambah kebajikan seperti bersegera menuju masjid saat waktu shalat tiba, menunaikan shalat sunnah rawatib, membaca dzikir, doa, dan sebagainya. Allah memerintahkan kita untuk berlomba-lomba dalam hal yang mendekatkan kita kepada keridhaan dan surga0Nya dengan berbagai amal shalih.
"Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba." (Al-Muthaffifin:26)
38. Terjaganya Kepribadian yang Baik
Shalat berjamaah adalah salah satu sebab bagi terjaganya kepribadian seseorang. Sebagian ulama berkata,"Termasuk kepribadian yang baik yaitu menjaga shalat berjamaah dan senantiasa datang ke masjid saat datang waktu shalat."
39. Adanya Perasaan Berdiri dalam Suatu Barisan Jihad
Manfaat shalat berjamaah yang lain yaitu ia bisa mendatangkan perasaan tengah berdiri dalam barisan jihad sebagaimana firman Allah:
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur." (Ah-Shaff:4)
Dan tak diragukan lagi, mereka yang telah menjadi satu barisan dalam jihad bila sudah terbiasa dengan shalat lima waktu, ia akan menjadi sarana bagi ketaatan kepada komandan mereka dalam barisan jihad. Mereka tidak akan mendahului atau mengakhirkan komando-komando pemimpinnya.
40. Menghadirkan Perasaan apa Yang terjadi pada Zaman nabi dan para sahabatnya
Sesungguhnya shalat berjamaah bisa menghadirkan perasaan bagi yang hidup di zaman akhir dengan apa yang ada pada zaman permulaan islam. Yakni dengan keadaan para sahabat. Imam merasa bahwa dirinya berada pada maqam (posisi) Rasulullah dalam mengimami para jamaah. Sedangkan para makmum merasa bahwa mereka berada pada maqam sahabat-sahabat Rasulullah. Dan tak disangkal lagi, adanya keterkaitan orang-orang yang hidup di akhir zaman dengan pendahulunya di zaman permulaan Islam merupakan motivator kuat dalam mengikuti salaf dan petunjuk mereka. Alangkah baiknya jika kita melakukan suatu pekerjaan yang dianjurkan lalu kita merasa bahwa kita sedang meneladani Rasulullah dan para sahabatnya yang mulia.
Setelah membaca artikel ini, masihkan kita meninggalkan shalat berjamaah?
REFERENSI
Diringkas dari Kitab Arba'una Fa'idah min Fawa'id Shalatil Jamaah (40 manfaat Shalat berjamaah) Karya Abu Abdillah Musnid al-Qahthani
Shalat merupakan salah satu ibadah yang paling penting di dalam Islam. Karena perintah shalat langsung diberikan oleh Allah kepada Rasulullah langsung tanpa perantara Malaikat jibril tidak sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Shalat juga merupakan ibadah yang menentukan pada saat manusia di padang mahsyar. Jika shalatnya baik, maka seluruh amalnya baik dan jika tidak, maka seluruh amalnya tidak baik. Namun, amat sangat disayangkan, banyak umat islam pada saat sekarang ini melalaikan perintah yang satu ini. Mereka sering menunda atau bahkan meninggalkan shalat. Apalagi jika disuruh untuk shalat berjamaah, banyak alasan yang akan kita terima dan salah satu alasan yang sering keluar adalah bahwa hukum shalat berjamaah itu adalah sunnah. Padahal seluruh ulama menetapkan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya wajib bagi laki-laki kecuali ada udzur (halangan). Di bawah ini ada 40 manfaat shalat berjamaah dimana diharapkan setelah membaca artikel ini kita bisa melakukan shalat berjamaah secara terus menerus dan mendapat 40 manfaat yang akan kita bahas.
II. Manfaat Shalat Berjamaah
1.Mematuhi Perintah Allah
Sesungguhnya dengan shalat berjamaah berarti kita telah mematuhi (salah satu) perintah Allah yang dibebankan kepada segenap hamba-Nya yang beriman. Allah berfirman:
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku." (Al-Baqarah:43)
Dalam kitab Tafsirnya, Ibnu Katsir berkata,"Yakni hendaklah kalian bersama orang-orang beriman dalam berbagai perbuatan mereka yang terbaik, dan yang paling utama dan sempurna dari semua itu adalah shalat. Dan banyak para ulama yang menjadikan ayat ini sebagai dalail bagi diwajibkannya shalat berjamaah."
2. Sebagai Saksi Keimanan
Alah bersaksi bahwa memakmurkan masjid-masjid adalah dengan iman dan bahwasanya mereka adalah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah pada kebenaran dan sungguh mereka adalah orang-orang yang beruntung.
Allah berfirman:
"Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat perunjuk." (At-Taubah:18)
3. Mendapatkan Tazkiyah (Pernyataan Kesucian) dan Anugerah Besar dari Allah
Shalat berjamaah adalah di antara sebab-sebab dzikrullah (mengingat Allah) dan bertasbih (memuji) kepada-Nya di masjid-masjid. Allah memuji mereka yang melakukan hal itu sekaligus menjuluki mereka sebagai rijaal (orang-orang gentleman). Mereka adalah orang-orang yang tidak lalai karena bisnis dan perdagangan mereka dari mengingat Allah , mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Allah Berfirman:
"Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut pada suatu hari yang di (hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas." (An-Nuur:36-38)
4. Mengagungkan dan Menekankan Apa yang diagungkan dan Ditekankan oleh Rasulullah
Shalat berjamaah memiliki arti yang besar dan urgen sekali. Perintah melakukannya tidak saja dalam situasi biasa. Tetapi Allah memerintahkan bahkan menekankan shalat berjamaah dalam situasi khauf (menakutkan). Allah berfirman:
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalau kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata." (An-Nisa:102)
Demikian pula Nabi menekankan shalat berjamaah. Beliau memerintahkan shalat berjamaah dan tidak memberikan keringanan kepada orang yang meninggalkannya.
5. Mematuhi Perintah Rasul
Dengan shalat berjamaah berarti mematuhi perintah Rasulullah dan mengikuti sunnah beliau baik qauliyah (ucapan) maupun fi'liyah (perbuatan). Rasul bersabda:
"Jika mereka bertiga maka hendaklah salah seorang mereka menjadi imam. Dan yang paling berhak menjadi imam adalah yang paling pandai membaca (al-Quran)." (Muslim)
6. Selamat Karena Mengikuti Rasul
Mengikuti Rasul dalam ibadah yang agung ini, yakni shalat berjamaah -juga dalam ibadah-ibadah lain- adalah diantara sebab-sebab turunnya hidayah (petunjuk), kecintaan Allah, ampunan-Nya atas dosa-dosa kita serta diantara sebab-sebab kesempatan kita dari Neraka dan masuk Surga. Allah berfirman:
"Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk." (an-Nuur:54)
7. Shalat Berjamaah termasuk Sasaran Islam Yang Agung
Berjamah dalam maknanya yang umum termasuk sasaran Islam yang agung. Karena itum banyak ibadah yang disyariatkan secara berjamaah agar maksud agung daripadanya (persatuan) benar-benar menghujam dalam jiwa segenap umat Islam seperti haji, shalat, dan sebagainya. Nabi Bersabda:
"Berjamaah (bersatu) adalah rahmat dan perpecahan adalah adzab." (Tirmidzi)
8. MengagungKAn dan Menampakkan Syi'ar Allah
Dengan shalat berjamaah berarti menampakkan dan mengagungkan salah satu diantara syi'ar Islam, bahkan termsuk syi'ar yang paling agung yakni shalat. Allah berfirman:
"Demikian (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati." (Al0Hajj:32)
9. Termasuk Sunnah-Sunnah Petunjuk
Sesungguhnya shalat berjamaah adalah termasuk sunnah-sunnah pertunjuk yang diajarkan Rasulullah kepada kita. Ibnu Mas'ud berkata:
"Sesungguhnya Rasulullah telah mengajarkan kepada kita jalan-jalan petunjuk. Dan diantara jalan-jalan petunju itu adalah shalat di masjid yang dikumandangkan adzan di dalamnya."
10. Lebih Utama dari Shalat Sendirian
Shalat berjamaah lebih utama 25 derajat (dalam riwayat lain 27 derajat) daripada shalat sendirian. Rasulullah bersabda:
"Shalat berjamaah itu leih utama 25 derajat daripada shalat sendirian." (Bukhari)
11. Lebih suci di sisi Allah Daripada shalat sendirian
Sesungguhnya shalat berjamaah itu, meskipun dengan jumlah sedikit, ia lebih suci di sisi Allah daripada sendirian meskipun jumlah orangnya lebih bayak. Rasululah bersabda:
"Shalat dua orang laki-laki dengan salah seorang dari mereka menjadi imam adalah lebih suci di sisi Allah daripada empat orang secara sendiri-sendiri." (Lihat Shahihul Jami nomer 3836)
12. Menjaga diri dari setan
Shalat berjamaah -dengan izin Allah- menjaga seorang muslim dari musuh bebuyutannya, yang tidak pernah diam, juga menghindarkannya dari penguasaan setan. Rasulullah bersabda:
"Tidaklah tiga orang berada di suatu desa atau dusun dan mereka tidak mendirikan shalat (berjamaah) kecuali mereka telah dikuasai oleh setan. Karena itu, hendaklah kalian senantiasa berjamaah. Sungguh serigala itu hanya makan (hewan piaraan) yang jauh (dari gerombolan kawan-kawannya)" (Lihat shahihul JamiNomor 5701)
13. Jauh dari menyerupai orang-orang munafik
Melakukan shalat berjamaah secara rutin bisa menjauhkan seorang muslim dari menyerupai orang-orang munafik yang oleh Allah diancam akan menempati neraka yang paling bawah. Rasulullah bersabda:
"Tak ada shalat yang lebih berat menurut orang munafik melebihi (beratnya) shalat subuh dan isya." (Muttafaqun 'alaih)
14. Di antara sebab diampuninya dosa-dosa
Sesungguhnya shalat berjamaah adalah salah satu diantara sebab diampuninya dosa-dosa bahkan dosa-dosa yang telah lalu. Rasulullah bersabda:
"Siapa yang berwudhu untuk shalat dan ia menyempurnakan wudhunya, lalu berjalan (untuk menunaikan) shalat wajib, dan ia shalat bersama manusia atau bersama jamaah atau di dalam masjid, niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya." (Muslim)
15. Diantara sebab Ta'ajub Allah
Diantara sifat Allah adalah ta'ajub, dan diantara sebab ta'ajubnya Allah adalah shalat berjamaah. Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya Allah ta'ajub pada shalat (yang dilakukan) secara berjamaah." (Lihat shahihul Jami nomor 1820)
Para Ulama sepakat terhadap penetapan sifat ta'ajub tanpa tahrif (penyelewengan), ta'thil (peniadaan), takyif (Menanyakan bagaimana) dan tamtsil (penyerupaan). Tapi secara hakiki yang sesuai dengan keagungan Allah
16.Berpahala besar karena berjalan untuk menunaikannya
Shalat berjamaah menjadikan seorang muslim keluar menuju masjid, dan biasnya ia berjalan serta banyak melangkah. Dengan demikian ia mendapatkan pahala besar dan kebaikan yang banyak dan tak seorang pun mengetaui sebatas apa pahalanya kecuali Allah. Rasulullah bersabda:
"Siapa yang berwudhu di rumahnya lalu berjalan menuju rumah Allah untuk menuanikan salah satu kewajiban (dari) Allah maka salah satu dari kedua langkahnya menghapus dosa-dosa dan yang lain meninggikan derajat." (Muslim)
17. Berkumpulnya para malaikat pada waktu shalat shubuh dan ashar serta permohinan ampun mereka bagi yang hadir
Rasululah bersabda:
"Para malaikat malam dan malaikat siang bergantian menyertai kalian dan mereka berkumpul pada saat (diselenggarakan jamaah) shalat shibuh dan shalat ashar. Lalu malaikat yang (sudah) menyertai kalian naik (ke langit), dan mereka ditanya oleh Tuhan mereka, padahal Dia lebih mengethaui draipada mereka, bagaimana keadaan hamba-hamba-Ku yang kalian tinggalkan? Mereka menjawab," Kami meninggalkan mereka sedang dalam keadaan shalat dan kami mendatangi mereka sedang keadaan shalat (juga)." (Muttafaqun 'alaih)
Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah:
"Mereka menjawab,"Kami datang sedang mereka dalam keadaan shalat dan kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat (pula), maka ampunilah mereka pada hari pembalasan."
18. Menyamai shalat separuh malam atau sepanjang malam
Rasululah bersabda:
"Siapa yang shalat Isya secara berjamaah, maka seakan-akan ia shalat separuh malam. Dan siapa yang shalat shubuh secara berjamaah, maak seakan-akan ia shalat sepanjang malam." (Muslim)
19. Berada Dalam jaminan Allah
Rasulullah bersabda:
"Siapa yang shalat shubuh secara berjamaah maka ia berada dalam jaminan Allah." (Lihat Shahihut Targhib wat Tarhib nomor 418)
20. Berada dalam naungan Allah pada Hari Kiamat
Rasulullah bersabda:
"Tujuh golongan manusia yang Allah akan menaunginya pada hari kiamat saat tiada lagi nanungan kecuali naungan-Nya ... laki-laki yang hatinya senantiasa bergantung kepada masjid-masjid." (Lihat Al-lu'liu wal Marjan nomor 610)
21. Bebas dari Neraka dan sifat Nifak
Rsulullah bersabda:
"Siapa yang melakukan shalat berjamaah selama 40 hari, dan ia mendapatkan takbir pertama, niscaya dituliskan untuknya dua pembebasan; bebas dari neraka dan bebas dari nifak." (Lihat Shahihul jami nomor 6365)
22. Mendapatkan Shalawat dari Allah dan Para Malaikat
Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang shalat (berjamaah yang terdapat) pada shaf-shaf terdepan. Dalam riwayat lain (yang tedapat) pada shaf pertama. Dlama riwayat lain pula (disebutkan), (yang terdapat) pada shaf-shal awal." (Lihat Al-Lu'lu wal Marjan nomor 1842)
23. Mendapatkan Rumah di Surga
Rasulullah bersabda:
"Siapa yang mengisi tempat kosong (dalam shaf), niscaya dengannya Allah mengangkat (untuknya) satu derajat dan membangunkan baginya satu rumah di surga." (Lihat Shahihul Jami Nomor 505)
24. Mendapatkan Pahala Berjamaah Meskipun telah selesai dikerjakan
Rasulullah bersabda:
"Siapa yang berwudhu kemudian membaikkan wudhunya lalu pergi (ke masjid) dan ia mendapati orang-orag telah selesai shalat, niscaya Allah (tetap) memberinya pahala orang yang tetap shalat dan menghadirinya secara berjamaah , pahalanya tidak mengurangi sedikitpun dari pahala mereka." (Lihat shahihul Jami Nomor 6163)
25. Sempurnanya Shalat
Shalat berjamaah adalah salah satu sebab bagi kesempurnaan dan kelengkapan shalat, juga pada ghalibnya menyelamatkan dan mengamankan diri dari lupa. Selanjutnya, ia berdampak pada semakin tingginya derajat (potensi) diterimanya shalat tersebut dengan izin Allah.
Rasulullah bersabda:
"Imam adalah yang bertanggung jawab, mu'adzin adalah yang dipercaya. Ya Allah, berilah petunjuk kepada para imam dan ampunilah para mu'adzin." (Lihat Shahihul jami Nomor 2787)
26. Amal Yang Paling Utama
Rasulullah bersabda:
"Amalan apakah yang paling utama?" Beliau menjawab,"Shalat pada waktunya." (Abu daud dan Tirmidzi)
27. Selamat dari Neraka Wail
Shalat berjamaah bisa menjaga seorang muslim dari meremehkan, melalaikan, dan melupakan shalat serta menjaganya dari melakukan shalat di akhir waktu. Bahkan, kebanyakan mereka yang meninggalkan shalat pada awalnya adalah mereka yang meninggalkan shalat berjamaah. Karena itu, Allah mengancam orang-orang yang melalaikan shalat dan mengakhirkannya dari waktunya:
"Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya." (Al-Ma'un:4-5)
28. Selamat Dari Kelalaian
Rasulullah Bersabda:
"Sungguh beberapa kaum benar-benar akan menghentikan (kebiasaannya) meninggalkan shalat berjamaah atau Allah benar-benar akan mengunci mati hati mereka lalu mereka benar-benar termasuk orang yang lalai." (Ibnu Majah)
29. Do'anya Tidak Ditolak
Kita mengetahui bahwa ada saat-saat tertentu dimana doa seorang muslim dikabulkan oleh Allah. Salah satu diantaranya yaitu ketika antara adzan dan iqamat. Dan waktu tersebut sangat memungkinkan terjadi ketika seseorang menunggu waktu untuk shalat berjamaah.
Rasulullah bersabda:
"Doa antara adzan dan iqamat adalah tidak ditolak." (Lihat Shahihul Jami Nomor 3408)
30. Persaudaraan, Kasih Sayang, dan Persamaan
Nabi menganjurkan agar kita meluruskan shaf dan tidak berselisih (bengkok dan berpencar), seraya menjelaskan bahwa yang demikian itu adalah sebab bagi bersatunya segenap hati. Rasulullah bersabda:
"Dan janganlah kalian berselisih (bengkok dalam shaf) karena hal itu akan mengakibatkan berselisihnya hati." (Lihat Shahihul jami Nomor 961)
31. Menjaga Shalat-shalat Sunnah Rawatib dan Dzikir
Termasuk manfaat shalat berjamaah yaitu pada umumnya ia membantu seorang muslim selalu menjaga hal-hal yang sunnah, shalat-shalat rawatib dan dzikir bersamaan dengan shalat wajib yang lima waktu. Rasulullah bersabda:
"Siapa yang shalat sehari semalam 12 rakaat niscaya dibangunkan satu rumah untuknya di surga: 4 rakaat sebelum Dzuhur, dan 2 rakaat setelahnya, 2 rakaat sesudah maghrib, 2 rakaat setelah 'Isya, dan 2 rakaat sebelum Shubuh." (Lihat Shahihul Jami Nomor 6362)
32. Memahami Hukum-Hukum Shalat
Di antara manfaat shalat berjamaah yaitu ia merupakan kesempatan besar untuk mempelajari sifat-sifat shalat dan mengetahui hukum-hukumnya. Dan itu bisa dilakukan saat masing-masing orang menyaksikan lainnya sedang shalat. Atau dengan mendengarkan ceramah-ceramah yang disampaikan di masjid-masjid, juga dengan membaca tulisan-tulisan yang ditempelkan di dalam masjid. Shalat berjamaah juga merupakan kesempatan untuk mengetahui bacaan yang benar serta belajar hukum-hukum tajwid dengan mendengarkan bacaan imam
33. Membiasakan Disiplin dan Menguasai Diri
Dalam shalat berjamaah terdapat pengajaran tentang disiplin dan penguasaan diri, yaitu pada saat mengikuti gerakan imam. Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya imam itu diadakan agar ia diikuti karena itu janganlah kalian berselisih atasnya." (Lihat Shahihul Jami Nomor 2360)
34. Menampakkan Kekuatan Umat Islam dan membuat Kesal Orang-Orang Kafir dan Munafik
Shalat berjamaah menampakkan kekuatan umat Islam sepanjang siang dan malam, juga menampakkan jumlah mereka yang besar. Di samping, ia akan membuat kesal musuh-musuh mereka, dari golongan orang-orang kafir dan munafik.
35. Memperbaiki Penampilan dan jati diri
Di antara manfaat shalat berjamaah yaitu ia pada ghalibnya membuat seorang muslim memperhatikan diri dan penampilannya, kebersihan pakaian, dan parfumnya. Yang demikian itu karena ia berkumpul dengan saudara-saudaranya sepanjang siang dan malam hari. Allah berfirman:
"Hai Anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan." (Al-A'raf:31)
36. Saling Mengenal dan Memperkenalkan Diri
Shalat berjamaah merupakan kesempatan besar untuk aling mengenal dan beramah tamah antar sesama muslim saat pertemuan mereka dalam shalat lima waktu, juga ketika masuk dan keluar masjid.
37. Berlomba-lomba dalam ketaatan kepada Allah
Termasuk manfaat shalat adalah ia menjadi motivator untuk berlomba-lomba dalam ketaatan kepada Allah dengan penuh kejujuran dan keikhlasan yakni dengan menambah kebajikan seperti bersegera menuju masjid saat waktu shalat tiba, menunaikan shalat sunnah rawatib, membaca dzikir, doa, dan sebagainya. Allah memerintahkan kita untuk berlomba-lomba dalam hal yang mendekatkan kita kepada keridhaan dan surga0Nya dengan berbagai amal shalih.
"Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba." (Al-Muthaffifin:26)
38. Terjaganya Kepribadian yang Baik
Shalat berjamaah adalah salah satu sebab bagi terjaganya kepribadian seseorang. Sebagian ulama berkata,"Termasuk kepribadian yang baik yaitu menjaga shalat berjamaah dan senantiasa datang ke masjid saat datang waktu shalat."
39. Adanya Perasaan Berdiri dalam Suatu Barisan Jihad
Manfaat shalat berjamaah yang lain yaitu ia bisa mendatangkan perasaan tengah berdiri dalam barisan jihad sebagaimana firman Allah:
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur." (Ah-Shaff:4)
Dan tak diragukan lagi, mereka yang telah menjadi satu barisan dalam jihad bila sudah terbiasa dengan shalat lima waktu, ia akan menjadi sarana bagi ketaatan kepada komandan mereka dalam barisan jihad. Mereka tidak akan mendahului atau mengakhirkan komando-komando pemimpinnya.
40. Menghadirkan Perasaan apa Yang terjadi pada Zaman nabi dan para sahabatnya
Sesungguhnya shalat berjamaah bisa menghadirkan perasaan bagi yang hidup di zaman akhir dengan apa yang ada pada zaman permulaan islam. Yakni dengan keadaan para sahabat. Imam merasa bahwa dirinya berada pada maqam (posisi) Rasulullah dalam mengimami para jamaah. Sedangkan para makmum merasa bahwa mereka berada pada maqam sahabat-sahabat Rasulullah. Dan tak disangkal lagi, adanya keterkaitan orang-orang yang hidup di akhir zaman dengan pendahulunya di zaman permulaan Islam merupakan motivator kuat dalam mengikuti salaf dan petunjuk mereka. Alangkah baiknya jika kita melakukan suatu pekerjaan yang dianjurkan lalu kita merasa bahwa kita sedang meneladani Rasulullah dan para sahabatnya yang mulia.
Setelah membaca artikel ini, masihkan kita meninggalkan shalat berjamaah?
REFERENSI
Diringkas dari Kitab Arba'una Fa'idah min Fawa'id Shalatil Jamaah (40 manfaat Shalat berjamaah) Karya Abu Abdillah Musnid al-Qahthani
Ibadah Yang Paling Utama
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata:
"Kemudian para penempuh "Iyyaka Na'budu (Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah)" dalam melihat ibadah yang paling utama dan paling bermanfaat serta paling layak untuk ditempuh secara khusus terbagi menjadi empat golongan:
Golongan pertama berpendapat bahwa ibadah yang paling bermanfaat dan paling utama adalah yang paling berat dan paling sulit bagi jiwa. Mereka beralasan, karena dia menjadi orang yang paling jauh dari hawa nafsu, dan itulah hakikat ta'abbud yang sebenarnya.
Golongan kedua berpendapat bahwa ibadah yang paling utama adalah hidup susah, zuhud di dunia, sedikit mungkin mengkonsumsi dunia, dan tidak memberikan perhatian terhadap sesuatu yang berhubungan dengan dunia.
Golongan ketiga berpendapat bahwa ibadah yang paling bermanfaat adalah apabila di sana terdapat manfaat yang banyak. Mereka mengatakan bahwa hal itu lebih utama dari pada amal yang memiliki manfaat yang lebih terbatas. Mereka berpendapat bahwa amal yang paling utama adalah membantu orang-orang fakir, menyibukkan diri dengan segala hal yang bermanfaat bagi orang banyak, mencukupi kebutuhan mereka, membantunya dengan harta, kehormatan dan manfaat, membela dan beramal di wilayah itu.
Golongan keempat berpendapat bahwa ibadah yang paling utama adalah untuk mencari ridha Allah Ta'ala pada setiap waktu sesuai dengan tuntutan waktu dan kondisinya. Maka ibadah yang paling utama disaat ada jihad adalah jihad, meskipun untuk saat itu dia harus meninggalkan beberapa amal sunnah seperti shalat malam, puasa di siang hari, bahkan meski pun dia kehilangan kesempurnaan shalat fardhu seperti ketika dia dalam keadaan aman.
Ibadah yang paling utama ketika kedatangan tamu misalnya adalah menunaikan haknya, mengisi dengan hal-hal yang disunnahkan, begitu pun dalam menunaikan hak istri dan keluarga. Ibadah utama di waktu sahur (menjelang fajar) adalah mengisinya dengan shalat malam, membaca al-Qur'an, berdoa, berdzikir dan istighfar. Ibadah yang paling utama ketika membimbing murid atau memberikan pelajaran kepada orang jahil adalah konsentrasi dengan pengajarannya. Ibadah yang paling utama ketika mendengar adzan adalah meninggalkan wirid apa saja yang sedang dikerjakan lalu menjawab adzan. Ibadah yang paling utama ketika masuk shalat lima waktu adalah antusias dan berusaha untuk menjalankan shalat dengan sesempurna mungkin, bersegera untuk melaksanakannya di awal waktu dan berangkat ke masjid untuk berjamaah. Semakin jauh rumahnya maka semakin utama menurut Nabi. Ibadah yang paling utama di saat bertemu orang yang membutuhkan bantuan darurat berupa kehormatan, badan atau harta adalah dengan membantunya, menghilangkan kesulitannya, dan lebih memprioritaskan hal itu dari pada amal-amal sunnah atau wirid dalam kesendiriannya.
Ibadah yang paling utama ketika membaca al-Quran adalah menghadirkan hati, antusias untuk menghayati dan memahaminya. Hingga seakan-akan Allah Ta'ala berbicara dengan anda, sehingga bulatkan hati anda dalam menghayati dan memahamiya. tekad untuk segera mengamalkan perintah-perintah-Nya lebih bulat dari pada tekadnya seandainya datang sepucuk surat dari sang raja. Ibadah paling utama pada saat wuquf di Arafah adalah bersungguh-sungguh merendahkan diri di hadapan Allah, berdzikir tanpa disertai puasa yang dapat melemahkan ia dari amal tersebut. Ibadah yang paling utama pada hari kesepuluh Dzulhijjah adalah memperbanyak ibadah, terlebih bacaan takbir, tahlil dan tahmid. Karena amal tersebut lebih utama daripada jihad di saat jihad bukan menjadi fardhu 'ain.
Ibadah yang paling utama ketika berada sepuluh terakhir di bulan Ramadhan adalah berada di dalam masjid, berkhalwat di dalamnya dan beri'tikaf tanpa berbaur dengan orang-orang. Bahkan hal itu lebih utama dari pada menghadiri majelis ilmu maupun membaca al-Quran menurut pendapat banyak ulama. Ibadah yang paling utama di saat ada saudara muslim yang sakit atau ada yang meninggal adalah dengan menjenguknya, menghadiri jenazah dan mengantarkannya, hal itu lebih diprioritaskan dari pada menyendiri atau berkumpul dengan orang lain. Ibadah yang paling utama ketika ditimpa musibah atau disakiti oleh orang adalah wajib bersabar dan tetap berbaur dengan mereka serta tidak menjauh dari mereka. Karena seorang mukmin yang berbaur bersama manusia lalu bersabar terhadap gangguan mereka itu lebih utama dari yang tidak berbaur dan tidak mendapatkan gangguan.
Ibadah yang paling utama adalah berbaur dengan manusia dalam kebaikan, hal itu lebih utama dari pada menjauhi mereka untuk melakukan kebaikan juga. Sedangkan menjauhi manusia tatkala berbuat keburukan adalah lebih utama dari pada berbaur dengan mereka untuk berbuat jahat. Jika dia mengetahui bahwa ketika dia berbaur dengan mereka itu akan mampu menghilangkan atau mengurangi keburukan , maka berbaur dengan mereka lebih utama dari pada mengasingkan diri. Ibadah yang paling utama pada setiap waktu dan kondisi adalah mendahulukan ridha Allah di setiap waktu dan kondisi, menyibukkan diri dengan apa yang menjadi kewajiban, tugas dan tuntutan ketika itu.
Mereka inilah ahli ibadah mutlak, sedangkan tiga golongan sebelumnya adalah ahli ibadah muqayyad (yang terikat oleh kecendrungan tertentu), ketika menghadapi jenis ibadah yang tidak sesuai dengan kecendrungannya dia merasa ada kekurangan dan seakan telah meninggalkan sebagian ibadahnya, sehingga dia beribadah kepada Allah hanya dari satu sisi saja. Adapun ahli ibadah mutlak, dia beribadah bukan untuk mengikuti kecendrungannya, tetapi mengikuti apa yang diridhai Allah Ta'ala, kapan dan dimanapun itu, dia selalu beribadah diatasnya. Dia terus berpindah dari satu fase ibadah kepada ibadah yang lain. Ketika ia telah singgah pada satu fase dia pun melanjutkan pada fase yang lain lalu dia menyibukkan diri dengannya sehingga datang fase berikutnya. Inilah kebiasaannya dalam menempuh perjalanan ibadahnya hingga akhir perjalanan. Jika anda melihat rombongan para ulama, maka anda melihat dia bersama mereka. Jika anda melihat segolongan orang yang beribadah, anda pun akan mendapatkan dia di sana. Jika anda melihat rombongan para mujahidin, maka dia pun ikut serta bersama mereka. Jika anda menyaksikan orang-orang yang tengah berdzikir, anda pun akan mendapatkan dia di sana. Jika anda melihat segolongan orang yang bersedekah dan berbuat baik, anda akan melihat dia berada di tengah mereka. Jika anda melihat orang-orang yang hatinya terkait dengan Allah, anda pun akan mendapatkan dia di sana. Dialah ahli ibadah mutlak, yang tidak terbelenggu oleh satu jenis ibadah, tidak pula terikat oleh satu ikatan kecendrungan, apa yang diamalkan bukanlah apa yang sesuai dengan seleranya atau yang ia merasa enjoy dan nikmat dengannya, tetapi ibadahnya adalah sesuai dengan kehendak Rabb-nya, meskipun dia dapatkan kelezatan ada di tempat yang lain. Inilah orang yang mampu merealisasikan dengan benar "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin" (Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan).
Dia menegakkannya dengan tulus, pakaiannya pantas, makannya mudah, kesibukannya adalah menunaikan apa yang diperintahkan oleh Allah sesuai dengan tuntutan waktu, duduknya dipenghabisan majlis atau dimana dia dapatkan tempat yang kosong, tidak terikat dengan satu kecendrungan, tidak menghamba dengan satu bentuk ikatan, tidak terpancang pada satu titik, dia beribadah dengan merdeka, berputar bersama perintah kemanapun dia berputar, beragama sesuai dengan kehendak yang memerintah kemanapun kendaraan diarahkan. berputar bersamanya (perintah Allah) ke manapun Allah mengendalikannya, merasa cocok dengan segala yang sesuai dengan posisinya, pecinta kebatilan tak akan mendapatkan dia di sampingnya. Dia bagaikan hujan, dimanapun turun akan membawa manfaat. Dan seperti pohon kurma yang tidak rontok daunnya, seluruh bagiannya bermanfaat sekalipun durinya. Dia berlaku keras terhadap orang-orang yang suka menyalahi aturan-aturan Allah, akan marah begitu apa-apa yang diharamkan Allah dilanggar, dia milik Allah, berbuat karena Allah dan senantiasa bersama dengan Allah, dia bersama Allah tanpa ditemani makhluk, bergaul bersama manusia tanpa egois. Bahkan ketika sedang bersama Allah dia pun memisahkan diri dari mereka. Namun, ketika bergaul dengan makhluk-Nya, dia hilangkan rasa egoisnya. Alangkah asingnya ia di tengah manusia, alangkah selamatnya dia dari pengaruh negatif manusia, alangkah dekatnya ia dengan Allah dan betapa gembiranya ia bersama Allah, tenang dan tenteram bersama-Nya, Allah tempat memohon pertolongan dan kepada-Nya kita bertawakkal.
Diringkas dari kitab Madaarijus Salikin Karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
"Kemudian para penempuh "Iyyaka Na'budu (Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah)" dalam melihat ibadah yang paling utama dan paling bermanfaat serta paling layak untuk ditempuh secara khusus terbagi menjadi empat golongan:
Golongan pertama berpendapat bahwa ibadah yang paling bermanfaat dan paling utama adalah yang paling berat dan paling sulit bagi jiwa. Mereka beralasan, karena dia menjadi orang yang paling jauh dari hawa nafsu, dan itulah hakikat ta'abbud yang sebenarnya.
Golongan kedua berpendapat bahwa ibadah yang paling utama adalah hidup susah, zuhud di dunia, sedikit mungkin mengkonsumsi dunia, dan tidak memberikan perhatian terhadap sesuatu yang berhubungan dengan dunia.
Golongan ketiga berpendapat bahwa ibadah yang paling bermanfaat adalah apabila di sana terdapat manfaat yang banyak. Mereka mengatakan bahwa hal itu lebih utama dari pada amal yang memiliki manfaat yang lebih terbatas. Mereka berpendapat bahwa amal yang paling utama adalah membantu orang-orang fakir, menyibukkan diri dengan segala hal yang bermanfaat bagi orang banyak, mencukupi kebutuhan mereka, membantunya dengan harta, kehormatan dan manfaat, membela dan beramal di wilayah itu.
Golongan keempat berpendapat bahwa ibadah yang paling utama adalah untuk mencari ridha Allah Ta'ala pada setiap waktu sesuai dengan tuntutan waktu dan kondisinya. Maka ibadah yang paling utama disaat ada jihad adalah jihad, meskipun untuk saat itu dia harus meninggalkan beberapa amal sunnah seperti shalat malam, puasa di siang hari, bahkan meski pun dia kehilangan kesempurnaan shalat fardhu seperti ketika dia dalam keadaan aman.
Ibadah yang paling utama ketika kedatangan tamu misalnya adalah menunaikan haknya, mengisi dengan hal-hal yang disunnahkan, begitu pun dalam menunaikan hak istri dan keluarga. Ibadah utama di waktu sahur (menjelang fajar) adalah mengisinya dengan shalat malam, membaca al-Qur'an, berdoa, berdzikir dan istighfar. Ibadah yang paling utama ketika membimbing murid atau memberikan pelajaran kepada orang jahil adalah konsentrasi dengan pengajarannya. Ibadah yang paling utama ketika mendengar adzan adalah meninggalkan wirid apa saja yang sedang dikerjakan lalu menjawab adzan. Ibadah yang paling utama ketika masuk shalat lima waktu adalah antusias dan berusaha untuk menjalankan shalat dengan sesempurna mungkin, bersegera untuk melaksanakannya di awal waktu dan berangkat ke masjid untuk berjamaah. Semakin jauh rumahnya maka semakin utama menurut Nabi. Ibadah yang paling utama di saat bertemu orang yang membutuhkan bantuan darurat berupa kehormatan, badan atau harta adalah dengan membantunya, menghilangkan kesulitannya, dan lebih memprioritaskan hal itu dari pada amal-amal sunnah atau wirid dalam kesendiriannya.
Ibadah yang paling utama ketika membaca al-Quran adalah menghadirkan hati, antusias untuk menghayati dan memahaminya. Hingga seakan-akan Allah Ta'ala berbicara dengan anda, sehingga bulatkan hati anda dalam menghayati dan memahamiya. tekad untuk segera mengamalkan perintah-perintah-Nya lebih bulat dari pada tekadnya seandainya datang sepucuk surat dari sang raja. Ibadah paling utama pada saat wuquf di Arafah adalah bersungguh-sungguh merendahkan diri di hadapan Allah, berdzikir tanpa disertai puasa yang dapat melemahkan ia dari amal tersebut. Ibadah yang paling utama pada hari kesepuluh Dzulhijjah adalah memperbanyak ibadah, terlebih bacaan takbir, tahlil dan tahmid. Karena amal tersebut lebih utama daripada jihad di saat jihad bukan menjadi fardhu 'ain.
Ibadah yang paling utama ketika berada sepuluh terakhir di bulan Ramadhan adalah berada di dalam masjid, berkhalwat di dalamnya dan beri'tikaf tanpa berbaur dengan orang-orang. Bahkan hal itu lebih utama dari pada menghadiri majelis ilmu maupun membaca al-Quran menurut pendapat banyak ulama. Ibadah yang paling utama di saat ada saudara muslim yang sakit atau ada yang meninggal adalah dengan menjenguknya, menghadiri jenazah dan mengantarkannya, hal itu lebih diprioritaskan dari pada menyendiri atau berkumpul dengan orang lain. Ibadah yang paling utama ketika ditimpa musibah atau disakiti oleh orang adalah wajib bersabar dan tetap berbaur dengan mereka serta tidak menjauh dari mereka. Karena seorang mukmin yang berbaur bersama manusia lalu bersabar terhadap gangguan mereka itu lebih utama dari yang tidak berbaur dan tidak mendapatkan gangguan.
Ibadah yang paling utama adalah berbaur dengan manusia dalam kebaikan, hal itu lebih utama dari pada menjauhi mereka untuk melakukan kebaikan juga. Sedangkan menjauhi manusia tatkala berbuat keburukan adalah lebih utama dari pada berbaur dengan mereka untuk berbuat jahat. Jika dia mengetahui bahwa ketika dia berbaur dengan mereka itu akan mampu menghilangkan atau mengurangi keburukan , maka berbaur dengan mereka lebih utama dari pada mengasingkan diri. Ibadah yang paling utama pada setiap waktu dan kondisi adalah mendahulukan ridha Allah di setiap waktu dan kondisi, menyibukkan diri dengan apa yang menjadi kewajiban, tugas dan tuntutan ketika itu.
Mereka inilah ahli ibadah mutlak, sedangkan tiga golongan sebelumnya adalah ahli ibadah muqayyad (yang terikat oleh kecendrungan tertentu), ketika menghadapi jenis ibadah yang tidak sesuai dengan kecendrungannya dia merasa ada kekurangan dan seakan telah meninggalkan sebagian ibadahnya, sehingga dia beribadah kepada Allah hanya dari satu sisi saja. Adapun ahli ibadah mutlak, dia beribadah bukan untuk mengikuti kecendrungannya, tetapi mengikuti apa yang diridhai Allah Ta'ala, kapan dan dimanapun itu, dia selalu beribadah diatasnya. Dia terus berpindah dari satu fase ibadah kepada ibadah yang lain. Ketika ia telah singgah pada satu fase dia pun melanjutkan pada fase yang lain lalu dia menyibukkan diri dengannya sehingga datang fase berikutnya. Inilah kebiasaannya dalam menempuh perjalanan ibadahnya hingga akhir perjalanan. Jika anda melihat rombongan para ulama, maka anda melihat dia bersama mereka. Jika anda melihat segolongan orang yang beribadah, anda pun akan mendapatkan dia di sana. Jika anda melihat rombongan para mujahidin, maka dia pun ikut serta bersama mereka. Jika anda menyaksikan orang-orang yang tengah berdzikir, anda pun akan mendapatkan dia di sana. Jika anda melihat segolongan orang yang bersedekah dan berbuat baik, anda akan melihat dia berada di tengah mereka. Jika anda melihat orang-orang yang hatinya terkait dengan Allah, anda pun akan mendapatkan dia di sana. Dialah ahli ibadah mutlak, yang tidak terbelenggu oleh satu jenis ibadah, tidak pula terikat oleh satu ikatan kecendrungan, apa yang diamalkan bukanlah apa yang sesuai dengan seleranya atau yang ia merasa enjoy dan nikmat dengannya, tetapi ibadahnya adalah sesuai dengan kehendak Rabb-nya, meskipun dia dapatkan kelezatan ada di tempat yang lain. Inilah orang yang mampu merealisasikan dengan benar "Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin" (Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan).
Dia menegakkannya dengan tulus, pakaiannya pantas, makannya mudah, kesibukannya adalah menunaikan apa yang diperintahkan oleh Allah sesuai dengan tuntutan waktu, duduknya dipenghabisan majlis atau dimana dia dapatkan tempat yang kosong, tidak terikat dengan satu kecendrungan, tidak menghamba dengan satu bentuk ikatan, tidak terpancang pada satu titik, dia beribadah dengan merdeka, berputar bersama perintah kemanapun dia berputar, beragama sesuai dengan kehendak yang memerintah kemanapun kendaraan diarahkan. berputar bersamanya (perintah Allah) ke manapun Allah mengendalikannya, merasa cocok dengan segala yang sesuai dengan posisinya, pecinta kebatilan tak akan mendapatkan dia di sampingnya. Dia bagaikan hujan, dimanapun turun akan membawa manfaat. Dan seperti pohon kurma yang tidak rontok daunnya, seluruh bagiannya bermanfaat sekalipun durinya. Dia berlaku keras terhadap orang-orang yang suka menyalahi aturan-aturan Allah, akan marah begitu apa-apa yang diharamkan Allah dilanggar, dia milik Allah, berbuat karena Allah dan senantiasa bersama dengan Allah, dia bersama Allah tanpa ditemani makhluk, bergaul bersama manusia tanpa egois. Bahkan ketika sedang bersama Allah dia pun memisahkan diri dari mereka. Namun, ketika bergaul dengan makhluk-Nya, dia hilangkan rasa egoisnya. Alangkah asingnya ia di tengah manusia, alangkah selamatnya dia dari pengaruh negatif manusia, alangkah dekatnya ia dengan Allah dan betapa gembiranya ia bersama Allah, tenang dan tenteram bersama-Nya, Allah tempat memohon pertolongan dan kepada-Nya kita bertawakkal.
Diringkas dari kitab Madaarijus Salikin Karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Langganan:
Postingan (Atom)